Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Dimanakah Penjual Rindu ?

 


Suasana langit yang mendung & awan gelap berjalan beringingan, tak menyurutkan semangat langkahku untuk bertemu para mujahid  Alqur’an. Rindu akan senyum cerah, tawa riang, dan ukhuwah persaudaraan menjadi salah satu bukti cinta yang tiada terkira.

Ku mulai majelis alquran sore itu dengan Sabda Nabi,” Man la yarham, La Yurham “ artinya barangsiapa tidak menyayangi maka tidak akan di sayangi. ( HR. Muslim)

Suatu saat Rasululloh SAW mencium cucunya . Seorang pembesar quraisy bernama Aqra’ bin Habis at tamini melihatnya, lalu ia berkomentar, “ Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah ku cium. Rasululloh SAW, lalu menjawabnya dengan ungkapan yang fasih , “apa dayaku bila allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu ?” 

Kalau di masa kecil anak – anak  kita tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orangtuanya, maka jangan salahkan ia, jikalau mereka tidak memiliki rasa rindu saat kita sudah tua. 

Tanpa ku sadari wanita paruh baya yang duduk di samping kananku, menangis dengan sesenggukan. Ku jeda sejenak, ku genggam tangannya untuk memberikan kekuatan. Ada luka hati yang susah mengering, dan ada duka yang tak habis untuk ia kikis. 

Ia menangis bukan karena hilangnya harta. Tetapi ia menangis karena sang anak semata wayangnya tak memiliki rindu pada kedua orang tuanya. Ku putar otak, mencari cara untuk melapangkan hati wanita tua tersebut. 

Ku fahamkan kembali bahwa ia tidak sendirian. Banyak di belahan bumi yang lainya, orang – orang yang mengalami keperihan yang serupa. Diantara mereka ada yang merasakan pahitnya menahan rindu di saat kakinya belum kuat untuk berjalan, tetapi ia tak mendapatkanya. Diantara mereka ada yang harus melakukan kenakalan yang memalukan demi merebut sepotong perhatian dari orangtua, tetapi tidak ada yang mereka dapatkan kecuali luka hati yang menyakitkan.

Jika anak – anak itu tumbuh tanpa adanya rasa hormat pada orang tua, maka apakah yang bisa menjamin kita agar mereka tidak durhaka kepada bapak ibunya? Beruntung sekali jikalau anak – anak itu hatinya mendapatkan celupan agama sejak kecil. Sekalipun tak sanggup untuk membangkitkan rasa rindu pada orang tua, maka ia masih bisa memaksakan diri untuk menyantuni mereka demi meraih cinta dan ridha dari sang Maha Agung, Rabb kita semua. Tetapi kalau iman mereka kosong ? apakah yang akan terjadi ? 

Hikmah pengalaman pembelajaran hidup  yang luar biasa bagi kita semua. Tampaknya ada yang perlu untuk senantiasa kita benahi dalam setiap hembusan nafas kita. Tentang niat kita dalam mendidik anak. Tentang tujuan arah hidup kita. Juga tentang apa yang akan kita pertanggungjawabkan kelak di hadapan Rabb kita. Semoga kita semua termasuk orang – orang yang ikhlas dalam membersamai anak – anak kita. Amiin.


Ditulis Oleh: Lia Devi Fibriyanti

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Saya sangat menikmati tulisan ini. Tulisannya cocok dibaca untuk orang tua dan calon orang tua. Cara menulisnya juga rapi dan runtut. Penulis hanya perlu belajar swasunting EYD.

    BalasHapus
  2. Tulisan bertema parenting yang mencerahkan dan menginspirasi untuk para orang tua.

    Penulisan judul kurang tepat. Seharusnya dipisah: "Di Manakah" tidak digabung karena "di" kata depan bukan imbuhan di-.

    Beberapa ejaan kurang tepat, seperti:
    • Alqur’an > Al-Qur'an
    • Rasululloh SAW > Rasulullah saw.
    • anak – anak > anak-anak
    • Sebelum tanda tanya (?), tanda hubung (-), dan tanda baca yang lain, tidak perlu diberi spasi.

    Judul dengan isinya kurang ada relevansi. Sebaiknya dijelaskan dalam beberapa kalimat di isi tulisan tentang istilah "penjual rindu" yang bermakna konotasi/kiasan. Mungkin maksudnya, kita tidak bisa membeli dengan uang atau harta apabila anak telanjur tidak memiliki rasa rindu kepada orang tuanya.

    Semangat menulis, Mbak Lia.

    BalasHapus
  3. Beberapa kali saya harus mengulang membaca tulisan ini. mencoba menemukan titik temu antara judul dan paparan tulisan, apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh penulis?.
    Awal bercerita tentang kegiatan diri, yang kemudian tersambungkan dengan hal yang disampaikan kepada orang lain.
    Dialog yang terbaca, adalah berbicara kepada diri sendiri, memberi nasehat atau muhasabah terhadap diri.
    Perlu ketegasan dari penulis, untuk memisahkan dialog agar pembaca bisa memahami alur pemikiran yang ingin di ceritakan.

    Semangat belajar, jangan patah karena masukkan.

    BalasHapus
  4. Jika ini opini, entah jenis tulisan apa yang cocok untuk ini.

    Lebih mengarah pada curhat di diary. Dibilang feature juga bukan. Apa mungkin terinspirasi jenis tulisan resonansi Mbak Asma Nadia?

    Mengenai isi tulisan saya suka. cocok untuk ortu dan siapa saja yang ingin memperbaiki diri.

    BalasHapus
  5. Seperti kue yang enak dan manis, sayang garnisnya kurang cantik.

    Semangat Mbak Lia 🥰🥰🥰

    BalasHapus
  6. Tulisannya menarik, menyentuh di hati pembaca. Saya membaca tulisan bu Lia sebelumnya, rata-rata seperti itu. Jadi benar-benar dari hati yang terdalam :D

    Terkait sasaran tulisan, awal saya melihat bahwa tulisan ini ditujukan kepada orang tua yang tidak dekat dengan anaknya. Tetapi, di paragraf kelima, ketika ada seorang ibu yang menaik saat anaknya tidak memiliki rindu kepada orang tuanya, dari sini sasaran tulisan beralih ke "kesalahan" si anak. Nah, arah tulisan jadi sedikit berbeda. Karena dari sudut pandang saya, permasalahan inti tulisan ada pada bagian ini. Karena menceritakan kejadian sesungguhnya dalam waktu dekat pernah terjadi, sangat "relate" dengan kondisi saat ini.

    Lanjut tulisan di paragraf selanjutnya, sasaran tulisan beralih kembali kepada orang tua. Jadi, sedikit bingung disini. Apakah tulisan ini "menyindir" si orang tua, ataukah "kelakuan" anak sekarang yang banyak tidak memperhatikan orang tuanya?

    BalasHapus