Oleh: Kholif Khoizaroh)*
Pagi itu, 26 September 2025, di Balai Desa Simongagrok, Kholif duduk di deretan kursi paling belakang. Hari itu, ada acara wawasan kebangsaan yang diselenggarakan oleh Kecamatan Dawarblandong. Acara dihadiri oleh Bapak Camat beserta stafnya, Wakil Ketua DPRD Mojokerto dan Komandan Danramil.
Ia memperhatikan dengan tenang, mendengarkan setiap materi. Batinnya hangat ketika narasumber berbicara tentang urgensi penguatan Pancasila untuk mengatasi krisis moral. Kalimat itu menancap dalam.
Pikirannya melayang ke masa muda. Ia teringat saat mengikuti pramuka di sekolah. Waktu itu, ia sering diminta menghafalkan Dasadarma. Dulu, terasa seperti hafalan biasa. Ternyata makin ia dewasa, nilai-nilai itu diam-diam membentuk karakternya: cinta alam, bertanggung jawab, disiplin, jujur, dan sederhana. Semua itu melekat hingga menjadi bagian dari perilakunya sekarang.
“Masyaallah …,” gumam Kholif dalam hati. “Apa yang ditanam sejak kecil, benar-benar masuk ke alam bawah sadar, lalu tumbuh menjadi perilaku saat dewasa.”
Ia menatap wajah-wajah remaja yang hadir sore itu. Ada semangat di mata mereka.
“Kalau anak-anak ini benar-benar ditanamkan nilai Pancasila dan Dasadarma, insyaallah, mereka akan tumbuh jadi generasi yang bermartabat. Mereka siap menghadapi globalisasi tanpa kehilangan akhlak dan tetap berpegang pada persatuan,” batinnya.
Malam itu, setelah pulang, Kholif kembali duduk di sajadahnya. Ia menulis catatan kecil untuk dirinya sendiri:
Pancasila bukan sekadar hafalan, tetapi pegangan hidup.
Dasadarma bukan sekadar janji, tetapi arah moral.
Jika ini semua ditanamkan sejak dini, maka anak-anak kita akan lebih siap menatap masa depan, membangun bangsa dengan martabat, dan tetap dalam rida Allah.
Hari-hari berikutnya, Kholif sering menyelipkan nilai itu pada anak-anak mengaji yang datang ke rumahnya. Sambil mengajarkan tajwid, ia berkata:
“Ngaji itu penting, Nak. Tapi kalian juga harus jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Itulah akhlak yang membuat Qur’an benar-benar hidup dalam diri kalian.”
Anak-anak mengangguk. Mereka mungkin belum sepenuhnya paham, tetapi kata-kata itu akan tersimpan. Sama seperti dulu, Kholif menyimpan Dasadarma—yang akhirnya mewarnai hidupnya hingga kini.
Dari seorang wanita teduh di desa kecil, pesan kebangsaan itu terus mengalir:
Bahwa membangun manusia seutuhnya bukan sekadar wacana, melainkan kesungguhan menanam nilai sejak dini—dengan cinta, kesabaran, dan teladan nyata.
Pada malam yang hening, Kholif menutup catatannya dengan sebuah doa. Dari hati yang teduh, ia memohon dengan lirih:
“Ya Allah, jadikanlah keluargaku, desaku, dan bangsaku ini teguh dalam iman, kokoh dalam persatuan, dan berakhlak mulia.
Tumbuhkan dalam hati anak-anak kami cinta tanah air, cinta kebenaran, dan cinta persaudaraan.
Sebagaimana Engkau tanamkan Dasadarma dalam jiwa kami pada masa lalu, tanamkan pula Pancasila dan akhlak Qur’ani dalam generasi penerus agar mereka siap menyongsong masa depan dengan martabat dan kemuliaan.
Ridai setiap langkah kami dalam membangun bangsa, dan jadikan keteduhan hati kami sebagai keteduhan negeri ini.”
Kholif meneteskan air mata. Ia tahu dirinya hanya seorang wanita desa sederhana. Namun, ia yakin, doa yang tulus, walau dari pelosok kecil, mampu mengguncang langit, dan Allah-lah sebaik-baik Penolong.
Simongagrok, 26 September 2025
*) Kholif Khoizaroh adalah anggota FLP Mojokerto.

0 Komentar