Oleh : Endarwati )*
Sakit ini tak tertahankan lagi. Nyeri di sekujur punggung dan perut tak terkira rasanya. Siti segera memberitahukan suaminya bahwa malam ini akan lahir anak keempat mereka. Adiknya yang ditelepon segera bergegas ke rumah dan menjaga ketiga anak mereka yang telah lelap di kamar.
Sampai di rumah sakit tempat biasa Siti memeriksakan diri, bidan datang menyambut. Setelah memeriksa, beliau mengetahui kalau saatnya telah tiba. Semua peralatan disiapkan. Sakit itu lenyap saat sosok bayi meluncur ke dunia dengan tangis keras. Bayinya lahir selamat. Perempuan. Bekulit bersih, bermata bulat, dan cantik. Bidan mendekati seraya berkata, “Bunda, bayinya sehat, tapi ada sedikit sumbing. Bunda nanti bisa konsultasi dengan dokter anak.”
Siti tak memahami apa maksudnya. Namun, Siti melihat ada celah di bibir atas anaknya. Setelah berada di ruang recovery, dokter yang memeriksa Siti menyatakan bahwa kondisinya dan bayinya sehat, esok bisa pulang, dan segera melakukan inisiasi dini. Air mata Siti jatuh begitu saja.
“Ya Allah … padahal selama hamil aku menjaga makananku, tak pernah abai pada vitamin, tak pernah malas berdoa …. Mengapa anakku lahir begini?” Siti sangat khawatir perihal bayinya. Ia membayangkan bagaimana nanti ketika menyuapi, menyusui, dan membayangkan bagaimana wajah bayinya ketika dewasa nanti.
Esok hari saat tiba di rumah, segera Siti berkonsultasi untuk memantau perkembangan bayinya. Penjelasan dokter spesialis anak menenangkan Siti, cleft (celah bibir) atau bibir sumbing bisa segera diperbaiki dengan pembedahan ketika berat badannya minimal 10 kilo dengan syarat kondisi sehat.
Beberapa hari kemudian, kabar itu cepat menyebar. Bisik-bisik tetangga mulai terdengar.
“Kasihan, anaknya lahir cacat.”
“Mungkin ibunya kurang hati-hati saat hamil.”
Kalimat itu menusuk hati Siti seperti duri. Malam-malamnya dipenuhi rasa bersalah dan sedih yang dalam.
Namun, setiap kali ia memandang mata bening putrinya—yang ia beri nama Laila—Siti merasakan kekuatan baru.
“Nak, meskipun dunia memandangmu berbeda, Ibu akan selalu jadi rumahmu. Kamu tetap anugerah terindah.”
Rasa penasaran membuatnya yang suka membaca mencari informasi dari mana saja. Ketika itu belum ada AI, maka referensi bacaan didapatkan dari membaca buku. Siti mendatangi perpustakaan kota di tempat tinggalnya untuk mencari apa penyebab bibir sumbing terjadi.
Saat hamil anak keempat ini, Siti memang kaget dan belum siap. Jarak dengan anak ketiga berselang hampir tiga tahun. Sebelumnya Siti mencegah kehamilan dengan hitungan kalender karena trauma saat memakai IUD Siti hamil anak ketiga. Alhasil, setelah dua tahun, Siti yang biasanya menstruasi teratur ternyata hamil lagi walaupun sudah berupaya maksimal dengan pantang berkala atau KB kalender.
Meskipun demikian, Siti yakin bahwa kehamilan, kelahiran, dan kematian adalah rahasia serta takdir Allah semata. Karena itu, Siti tak menolak kehamilan ini. Ia berupaya memenuhi gizi sang buah hati dengan memberikan asupan dan vitamin kehamilan dari dokter kandungan dan bidan langganan.
Kembali ke masalah bibir sumbing. Akhirnya ditemukan fakta bahwa kejadian itu karena Siti terpapar obat atau salep yang mengandung kortikosteroid. Salep itu Siti gosokkan ke kakinya yang gatal-gatal karena alergi. Sebenarnya, Siti tak jarang mengalami alergi dan biasa menggunakan salep. Namun, Siti tidak tahu bahwa ternyata hal itu berdampak bagi bayinya.
Terkadang, adakalanya mental Siti jatuh. Sempat ada rasa minder dan menyalahkan diri. Saat pergi ke dokter anak untuk imunisasi dan konsultasi, Siti tutupi wajah anaknya agar mereka tidak melihat. Syukurlah, dukungan suami dan orang tua serta nasihat dokter menjadi kekuatan. Meskipun ada tetangga bergosip tentang kondisi anaknya ini, Siti tetap berbesar hati. Siti tahu bahwa ini bukan masalah besar. Siti yakin, ia dan anaknya bisa mengatasi semua ini.
Siti berjuang maksimal agar bayinya sehat dan berat badan minimal segera terpenuhi. Selepas tiga bulan, Siti mulai memberikan MPASI selain ASI yang diberikan memakai botol dengan sendok khusus. Tujuannya supaya berat badan segera naik dan membiasakan bayi lepas dari puting. Karena setelah operasi nanti, ia harus bisa menyusu, makan, atau minum tanpa mengisap puting. Jadi, ia biasakan anaknya untuk makan dan minum tanpa mengisap, menggunakan botol yang dilengkapi sendok khusus untuk penderita bibir sumbing.
Tak lama setelah itu, Allah memberikan nikmat sekaligus ujian, yakni SK PNS-nya akan turun. Siti harus mengikuti diklat pra-jabatan selama 21 hari di Surabaya. Galau berkecamuk di hati. Siti yang masih fokus merawat buah hati harus pergi menjalani diklat selama tiga minggu. Solusi datang dari ART yang mau menemani. Nanti di sana, Siti akan menyewa kamar untuk ART dan bayinya saat diklat.
Pada hari H keberangkatan diklat, ART-nya menggagalkan niat untuk menemani. Ia beralasan kesehatan terganggu dan tidak diizinkan suami untuk mengasuh anaknya di Surabaya. Siti bingung lagi bagaimana mengatasi masalah ini.
Alhamdulillah, Allah masih memberikan solusi, bayinya dititipkan ke tetangga baik yang pernah mengasuh anak-anaknya dulu. Walaupun masih diliputi kecemasan, Siti berusaha menenangkan diri. Berangkat diklat ke Balai Diklat di Surabaya untuk mengikuti diklat pra-jabatan. Di asrama, ASI terpaksa diperah karena mengucur terus. Namun, karena jarak, ASI itu tidak bisa diberikan kepada anaknya. Rasanya sedih sekali saat membuang ASI. Namun, bagaimana lagi suaminya tak sanggup bila harus pulang pergi Mojokerto-Surabaya hanya untuk mengambil ASI, mengingat beliau juga harus bekerja.
Alhamdulillah, masa itu telah selesai. Diklat lancar walaupun pada hari terakhir, bayinya demam tinggi dan diare. Untunglah, Bu Tijam, tetangga yang mengasuh segera membawa ke dokter sehingga bayinya berangsur sembuh.
Kemudian, ia mencari informasi, menghubungi lembaga yang membantu anak-anak dengan bibir sumbing. Meski butuh biaya besar, Siti dan suaminya rela bekerja lebih keras, menabung sedikit demi sedikit. Akhirnya dia menemukan yayasan Tulip Foundation dari Belanda yang berkomitmen untuk membantu anak-anak berbibir sumbing. Dengan bantuan yayasan itu, operasi yang seharusnya menghabiskan puluhan juta bisa dilakukan. Siti dan suaminya hanya membayar 1,5 juta saja.
Ketika berusia dua tahun, Siti membawa bayinya ke RS atas rujukan dokter anak yang biasa memantau tumbuh kembangnya. Operasi berjalan lancar. Saat perban dilepas, Siti menitikkan air mata haru. Wajah Laila kini lebih cerah, senyumnya indah. Namun, bagi Siti, bahkan sebelum operasi pun, anaknya tetaplah bintang paling cantik.
Hari demi hari, Laila tumbuh menjadi gadis yang pintar dan ceria. Ia rajin belajar, gemar membaca, dan selalu membawa pulang juara di sekolah. Wajah cantiknya semakin memancarkan rasa percaya diri.
Suatu sore, ketika Laila pulang dengan piala lomba pidato, ia berkata pada ibunya,
“Bu, dulu aku sering mendengar orang bilang aku dulu gadis sumbing. Tapi karena Ibu selalu ada, aku tahu kalau aku kuat. Terima kasih sudah percaya padaku.”
Siti memeluk anak gadisnya erat. Hatinya penuh syukur.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kini bayi itu menapaki usia remaja. Anak yang cantik, ceria, sedikit introver, tetapi pintar. Ia berhasil masuk Fakultas Kedokteran dengan beasiswa berkat kegigihan belajar dan doa ibunya. Di bangku kuliah, Laila semakin mantap dengan pilihannya: ia ingin menjadi dokter yang menolong anak-anak dengan kondisi yang sama dengannya dulu.
Saat hari wisuda tiba dengan toga kebanggaan, Laila berdiri di atas panggung, senyumnya begitu menawan. Air mata Siti menetes deras. “Anak yang dulu dikata cacat… kini jadi dokter,” batinnya.
Kini, Laila bekerja di rumah sakit, khusus menangani anak-anak dengan bibir sumbing. Setiap kali melihat wajah-wajah mungil yang penuh harapan, ia selalu teringat pada dirinya sendiri. Dengan lembut ia berkata kepada seorang ibu yang tampak cemas,
”Bu, jangan khawatir. Anak Ibu bisa tumbuh sehat, cantik, dan pintar. Saya dulu juga sama seperti mereka. Percayalah, selalu ada pelangi setelah hujan.”
*) Endarwati, M.Pd. lahir di Surabaya pada 18 Februari. Sejak kecil, ia telah akrab dengan dunia buku, mulai dari majalah anak, novel remaja, hingga surat kabar. Kegemarannya membaca diwariskan dari sang ayah yang selalu membawakan banyak buku dari perpustakaan sekolah. Kebiasaan ini menumbuhkan kecintaan pada menulis, hingga tulisannya sempat dimuat di surat kabar dengan honor pertamanya sebesar 25 ribu rupiah.
Dalam kehidupan pribadi, ia adalah istri dari Yogie Eka Permana, S.Sos. dan ibu dari enam anak. Melalui kegiatan membaca bersama sejak dini, ia menanamkan kegemaran membaca di lingkungan keluarga, meyakini bahwa membaca adalah bekal berharga untuk meraih cita-cita di masa depan.
Lulusan Sarjana FKIP Bahasa Inggris Universitas Jember dan Pasca Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris Unmuh Jember ini, setelah mengajar di beberapa sekolah di Surabaya, hijrah ke Mojokerto dan kini mengabdi sebagai pendidik di MTsN 2 Mojokerto. Sebagai guru, ia tidak hanya fokus mengajar, tetapi juga aktif menumbuhkan budaya literasi. Bersama komunitas literasi, Berkah Mulia, ia membagikan buku donasi ke sekolah, madrasah, pesantren, dan rumah baca dengan tujuan menumbuhkan generasi yang berakhlak mulia dan cinta ilmu.

0 Komentar