Oleh : A. Haris ar-Raci )*
“Saya mengundurkan diri, Pak Sodron, Maaf.”
Ah, kalimat ini sudah terlalu sering kau dengar, tapi tetap saja kau harus menahan perih di hati.
“Mengapa, Pak Paijo, adakah yang kurang dari saya?” tetap saja kau harus menanyakan alasan pengunduran ini. Karena tak mungkin suatu kejadian tanpa ada sebab yang mengiringi. Meskipun kau yakin usaha apa pun yang akan kau lakukan tak akan bisa menahan permohonan ini.
“Saya sudah putus asa, Pak. Tak ada lagi upaya yang bisa saya lakukan agar program yang kita rencanakan bisa berjalan, saya gagal.”
“Siapa yang mengatakan Pak Paijo gagal?”
“Tak ada, Pak. Tapi melihat kemajuan sekolahan kita yang stagnan, saya kira sudah tak ada harapan lagi untuk saya, dengan kata lain saya sudah gagal.”
“Hem, janganlah keberhasilan Bapak nilai sendiri. Sebab menurut saya, kita tidak gagal. Justru ini tantangan yang harus diatasi dengan upaya-upaya lain.” kau memberikan banyak argumentasi, nyatanya Paijo tetap mundur.
Paijo adalah guru ke dua belas yang takluk dengan medan perjuangan melalui sekolah yang kau dirikan tujuh belas tahun yang lalu.
Kurun waktu tujuh belas tahun dengan selusin guru yang pergi atau mengundurkan diri tak menyurutkan langkah memajukan kampung kelahiran.
Kau duduk termangu di kursi ruang tamu seusai percakapan dengan Paijo untuk yang terakhir kali. Kau teringat dengan awal perjuangan yang kau canangkan.
***
“Pak, bisakah njenengani membantu saya,” kau membuka percakapan dengan Bapakmu yang terkenal murah senyum.
“Ada apa, Dron. Sepertinya kau akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Katakan, nggak usah sungkan. Sebagai Bapak aku akan selalu membantumu, selagi itu sesuatu yang baik.” Jawaban ini menumbuhkan semangat, sesuai dengan yang kau harapkan.
Maka, kau sampaikan kepada Bapak rencana untuk mendirikan sekolah dasar di kampung. Swasta tentunya. Kampungmu tak cukup kriteria jika didirikan sekolah negeri. Sebab di kampung sebelah, berjarak lima kilometer telah ada sekolah negeri. Meski lima kilometer, namun jalan ke sana sungguh tidak bersahabat.
Sebenarnya ini ide gila. Sebab kau menyadari akan sulit mengajak warga kampung untuk menyekolahkan anak mereka. Karena selama ini para orangtua lebih suka mengajak anaknya ke sawah atau ladang untuk mencangkul, menyabit rumput, atau menggembala sapi dan kambing. Hampir tidak ada yang mau bersusah payah mengantarkan anaknya pergi ke kampung sebelah untuk sekolah.
Bagi mereka, menyekolahkan anak hanya akan mengganggu aktivitas mencari sumber penghidupan. Apatah lagi mengeluarkan biaya pendidikan yang tentu tidak sedikit. Itulah kenapa, sering kau bersyukur Bapak menyekolahkan sampai SMA. Dan kau adalah satu-satunya lulusan SMA di kampung, bahkan lulusan SMP pun kau sendirian. Entah malaikat jenis apa yang memberi ilham sehingga Bapak berinisiatif menyekolahkanmu.
Singkat cerita, kau didukung penuh oleh Bapak. Kekayaan yang dimiliki memudahkan kau mendapat dana pembangunan gedung sekolah yang kau dirikan di samping rumah.
Gedung sudah berdiri, tentu mengisinya menjadi tugas lanjutan yang kau emban. Mulailah kau berkeliling kampung keluar masuk rumah warga mengajak mereka agar mau menyekolahkan anaknya. Bujuk rayu kau siapkan. Banyak penolakan, halus hingga kasar. Kau tak putus asa, sebab bagaimanapun yang namanya perjuangan selalu menemui jalan terjal.
Awal tahun pelajaran hanya dua puluh dua anak yang bersekolah. Jauh dari harapan sebab mestinya ada empat puluhan anak yang masuk usia kelas satu SD. Kau sendirian mengajar, untuk mengajak salah satu warga adalah sesuatu yang mustahil sebab yang pernah sekolah semuanya lebih nyaman jika jadi petani atau penggembala.
Tiga tahun hal ini berjalan, hanya harapan ingin memajukan dan mengubah wajah kampung sajalah yang menjadi alasan utamamu untuk mengesampingkan ego. Tapi, di tahun keempat kau menyerah. Tak mungkin kalau sendirian mengelola sekolah sedangkan siswa yang diampu semakin bertambah.
“Pak, Sodron bingung, tiap pagi harus mengajar tiga kelas dalam waktu bersamaan,” keluhmu pada bapak di suatu senja.
“Terus maumu apa, Dron?” tanya Bapak.
“Mungkin Bapak punya solusi, buntu pikiran saya.”
“Ehm, bagaimana kalau ke pondokmu dulu minta tolong pada Kyai?”
Kau tersenyum, rasanya ini solusi terbaik meski belum tahu bagaimana nanti saran Kyai.
***
Pagi itu kau menyampaikan kepada semua murid bahwa sekolah diliburkan sementara. Apa sebabnya libur, kau tak menyampaikan. Anak-anak terlalu kecil untuk sekadar tahu sebab musabab libur. Tanpa menunggu lama kau berangkat menuju pondok.
“Nak Sodron,” panggil Kyai.
“Dalemii, Kyai.”
“Permasalahan yang kau hadapi aku kira sangat mudah solusinya,” kata Kyai ketika kau selesai menceritakan kemasygulan.
Mudah? Kau terkesiap. Bagaimana bisa mudah, sedangkan berbulan-bulan kau memikirkan dan tak pernah bisa menemukan solusinya.
“Ngapunteniii, Kyai. Kenapa jenengan mengatakan solusinya sangat mudah.”
“Itu karena berjuang sendirian. Sudah saatnya kau punya teman yang bisa mendampingi setiap saat.”
“Maaf, Kyai, saya belum mengerti.”
“Kau harus menikah, dan calon istrimu harus bisa membantu dalam mengajar di sekolah nanti.” Kau kebingungan, mencari teman mengajar saja susah ini malah disuruh mencari istri sekaligus bisa mengajar.
“Aku tahu kau bingung. Jika kau berkenan bagaimana kalau kau kunikahkan dengan salah satu putriku. Dia baru lulus Aliyah, tapi aku kira dia sudah sangat siap jika menemanimu dalam membina biduk rumah tangga dan membantu dalam mengajar.”
“Ta … tapi Kyai, ini sungguh tidak masuk akal, saya santri biasa, Bapak saya bukan kyai, dan maaf Kyai, perasaan hati putri njenengan juga harus dipertimbangkan.”
“Ha ha ha, jangan merendah, Dron. Aku tahu kau dulu santri terbaik, kau juga hafal al-Qur’an. Nasabmu bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan. Sedangkan putriku, jangan khawatir sejak dulu dia pasrah sama aku dalam hal perjodohan sebab dia yakin, pilihanku tak akan salah.”
Begitulah, tak diduga bertandangmu ke pondok membuat kau ketiban durian runtuh. Tak berapa lama kau sudah mempunyai istri dan langsung kau boyong ke kampung. Istrimu menjadi partner paling pas meneruskan harapanmu dalam mengubah wajah perkampungan. Bahu-membahu kau dan istri menjadi guru membina siswa.
Tiga tahun kemudian siswa sudah menjadi enam kelas, lagi-lagi dua guru tak cukup untuk mengajari mereka dalam satu waktu.
“Dik, rupanya kita tak bisa menghindar untuk tidak mencari guru. Kau tahu sendiri, kita berdua kuwalahan tiap hari,” katamu pada istri.
“Benar, Mas. Sudah saatnya kita mencari guru. Ehm, bagaimana kalau kita ke Abah minta saran beliau?” saran istrimu.
Esoknya, kalian berdua sudah berada di pondok dan menyampaikan keluh kesah.
“Untuk kali ini, aku rasa tidak cukup kalau kalian aku ambilkan salah satu santri pondok. Pergilah ke Universitas X, cari informasi di sana tanya dosen-dosennya. Minta tolong ke mereka untuk mencarikan sarjana pendidikan yang mau mengabdikan diri di sekolah kalian. Aku yakin pasti di antara sekian lulusan ada yang berminat.”
Saran tersebut kau turuti. Kau pergi ke universitas yang dimaksud, dan tak menunggu lama, ada beberapa orang yang datang ke rumah.
Sayangnya ketika mereka tahu situasi dan kondisi kampung hanya satu orang saja yang berminat, padahal kau berencana mencari dua.
Akhirnya sekolahan bisa kembali berjalan normal. Meski bagimu dengan adanya tambahan guru itu berarti harus menambah biaya pengeluaran. Kau mesti memberikan honor, pakaian seragam guru, bahkan tempat tinggal karena jika wira-wiri kasihan si guru yang harus menempuh medan yang berat. Semua murni dari kocek pribadimu yang berasal dari hasil pertanian milik bapakmu.
Nyatanya hanya dua tahun guru ini bertahan dengan alasan dia kesepian di kampung yang terpencil.
Tak menunggu lama kau kembali ke Universitas X guna membuka lowongan guru ini. Lagi-lagi dari lima pelamar, hanya satu yang mau melanjutkan lamarannya. Kau lega meski was-was guru tersebut mengundurkan diri di tengah jalan.
Was-was itu benar-benar terbukti, sebab tak sampai dua tahun guru tersebut menyerah. Kali ini dia beralasan bosan dengan menu makanan yang tak pernah berubah. Sedangkan kalau ingin beli makanan ke luar kampung dia harus menempuh perjalanan lima jam! Kau tak bisa menahan, semusykil apapun alasan yang diajukan, itu hanya tameng agar dia bisa mengundurkan diri.
Gerak cepat membuka lowongan kembali kau lakukan. Pengganti pun didapatkan. Hanya saja peristiwa mengundurkan diri tetap saja berulang, berkali-kali. Satu waktu ada yang beralasan karena tak tahan menghadapi siswa yang nakal di luar batas bahkan mengatakan anak-anak ini terlalu liar.
Guru yang lain, mundur karena sudah menemukan sekolah lain yang lebih menjanjikan untuk masa depannya. Ada lagi yang beralasan karena mereka akan menikah dan tidak diperbolehkan mengajar di tempat yang terpencil dan berbagai alasan lain yang ujung-ujungnya mereka tetap mundur.
Terakhir, Paijo tadi. Dia adalah guru ke dua belas yang mengajukan permohonan pengunduran diri. Kau merasakan dunia semakin sempit. Mengapa harapan dan cita-cita yang mulia harus menghadapi kendala dan halangan yang begitu rupa.
Entah dengan cara apalagi mencari pengganti, dan nanti kalau sudah dapat pengganti cara yang bagaimana bisa menahan guru tersebut agar kerasan.
“Ada kabar apa, Mas, Pak Paijo tadi. Kok sepertinya penting sekali,” tanya istrimu yang barusan selesai masak untuk makan malam.
“Seperti biasa, Dik.” Jawabmu singkat.
“Mengundurkan diri?”
“Yah, begitulah!”
“Yang sabar ya, Mas. Kita punya niatan baik, dan terbukti kita kuat menghadapi berdua. Aku yakin, suatu saat kejadian seperti ini akan ada akhirnya.”
“Demikianlah, Dik, doaku yang aku lantunkan di tiap selesai salat.”
“Amin, oh ya Mas, mandi dulu, sudah pukul 16.30, siap-siap ke masjid.”
Baru saja kau mengangkat pantat hendak masuk ke ruang tengah, tiba-tiba teriakan salam dan kau menjawabnya.
Bergegas kau keluar rumah dan membukakan pintu, “Eh … kalau nggak salah, kalian Paiman, Paidi, dan Sutini, kan? Mari, mari masuk.” Bersamaan mereka berempat masuk ke rumah.
Setelah duduk, “Alhamdulillah, ternyata Pak Sodron masih mengingat kami. Padahal kan sudah sepuluh tahun kami lulus.” Kata Paiman.
“Tentu saja ingat, dong, Man. Kalian bertiga kan murid pertamaku, apalagi kalian ini murid-muridku yang paling pintar waktu itu.”
“Ah, Pak Sodron terlalu memuji.” Ucap Sutini sambil tersenyum.
“Oh ya, ada apa ya, sepertinya ada yang penting?”
“Maaf, Pak. Saya mewakili kedua teman saya ini. Kami bertiga kan baru saja diwisuda dengan gelar sarjana pendidikan. Mohon kalau diperkenankan kami ikut membantu Pak Sodron mengajar di sekolah yang bapak dirikan dan bina selama ini.”
“Lho, bukannya kalian setelah lulus dari sekolahku merantau keluar itu kerja?”
“Bukan, Pak. Sengaja orangtua kami merahasiakan sekolah dan kuliah kami, karena sebagaimana yang Bapak ketahui, orang-orang kampung selalu mencibir kepada orangtua yang menyekolahkan anaknya setelah SD.”
“Masyaallah, hebat-hebat orangtua kalian, lalu sekarang kalian setelah jadi sarjana, pulang, dan mau membantuku?”
“Betul, Pak.” Jawab mereka serempak.
“Saya takut kalian nanti akan menyesal.”
“Astaghfirullah, Pak Sodron. Demi Allah kami takkan menyesal. Kami sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Kami kasihan pada Bapak, kami juga sudah bosan dengan keadaan kampung yang begini-begini saja. Sudah saatnya muncul pendobrak. Pak Sodron sudah memulainya, maka kamilah yang akan meneruskannya,” kata Sutini panjang lebar.
“Allahu akbar, Dik Dik sini!”
Tergopoh-gopoh istrimu keluar, “Ada apa to Mas, sampai teriak begitu?”
“Ini lho, ketiga murid kita yang sudah sarjana mau membantu menjadi guru di sekolah kita.” Berbinar-binar serta tak henti-hentinya senyum tersungging saat kau bicara. Bibir istrimu langsung tersenyum lebar, tak sadar kau memeluk istrimu di depan muridmu. Sedangkan Paiman, Paidi, dan Sutini ikut terharu mata mereka berkaca-kaca.
***
Pagi ini, kau berangkat bersama istrimu seperti biasanya. Hanya kali ini ada yang berbeda, senyummu terlihat selalu mengembang, istrimu juga. Sesampai di sekolah kau lihat tiga orang guru baru yang menyambut salaman kepada para siswa yang datang.
Senyum kembali kau tunjukkan lebih tepatnya tertawa. Ya, kau tertawa sebab kau yakin harapan melihat kampung terpelajar, warga yang sadar akan pendidikan bukan sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. Kesabaran telah membuahkan hasil, dan hasil memang tak akan mengkhianati usaha.
Maret 2021
*) A. Haris ar-Raci nama pena dari
Abdul Haris, salah satu pengajar di
MI. Bustanul Ulum dan anggota FLP
Mojokerto. Buku terbaru yang terbit Kumcer Bunga Petir

0 Komentar