Oleh: Riski Diannita *)
Kepada Ibu, Bapak, dan Adik.
Saat kalian membaca surat ini, mungkin aku telah tiada. Aku berharap, warisanku yang tidak seberapa ini bisa bermanfaat, terutama buat biaya pendidikan Adik. Bagiku yang terpenting, nama Ardi bisa menjadi abadi dalam setiap karya-karyaku yang dibaca oleh banyak orang. Tolong, pendapatan kita setiap bulan disisihkan untuk belanja buku agar anak-anak bisa menikmatinya di taman baca. Semoga bisa menjadi bekal amal jariah kita menuju akhirat nanti. Sampai jumpa, keluargaku. Titip salam buat Niar, seorang pembaca setiaku. Aku sayang kalian.
Salam hangat, Ardi.
Perempuan paruh baya mengusap air mata yang mengalir deras di pipi. Ia juga menunjukkan selembar kertas surat kepada suami dan anak bungsunya. Wajah ketiga orang itu sendu. Mereka berduka, tapi sekaligus bahagia dan bangga. Kerja keras Ardi selama hidup tidak pernah mereka sadari. Kini setelah pemuda itu pergi untuk selamanya, mereka baru mengerti dan menikmati jerih payahnya.
Ibunda Ardi adalah orang yang paling terpukul. Ia sudah salah menilai impian sang putra sulung. Seandainya Ardi masih ada di rumah ini, duduk berlama-lama di depan laptop, pastilah perempuan itu akan mendukung sepenuhnya. Tanpa ragu. Ia akan memasakkan makanan kesukaan Ardi, menjaga kesehatannya, dan melayani kebutuhan anaknya dengan senang hati.
Namun, bukan itu yang dulu dilakukan oleh ibunda Ardi. Dengan kasar, ia sering memerintah anaknya keluar rumah demi mencari pekerjaan. Bapak dan ibu Ardi merasa sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyekolahkan buah hatinya. Delapan belas tahun lamanya Ardi menduduki bangku sekolah, mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Lalu, bagaimana bisa Ardi tidak mau mencari kerja? Lelaki berkacamata yang tinggal di sebuah desa itu pun dianggap aneh oleh keluarga dan orang sekitar. Ia dipandang seolah alien, berbeda dengan warga desa yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Di urutan berikutnya, warga menjemput rezeki dengan berdagang dan sebagian kecilnya menjadi buruh pabrik, karyawan, dan guru.
Sebenarnya, Ardi bisa dibilang sebagai pengajar. Namun, ia memilih hanya mengajar les di rumah. Anak-anak kampung selalu datang ke rumahnya pada sore hari untuk meminta diajari mengerjakan PR. Ardi memang lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Ia cukup mempunyai dasar ilmu menjadi guru.
Sang ibu menyarankan supaya Ardi melamar kerja sebagai guru di sekolah. Ardi menolak. Ia lebih leluasa mengajar les di rumah walaupun honornya tidak seberapa. Bahkan, anak-anak sering membayar jasanya dengan hasil pertanian, seperti beras, jagung, ketela, sayur-mayur, dan buah-buahan.
Setiap pagi sampai siang hari, Ardi sibuk mengetik di laptop. Entah apa yang ia kerjakan. Bapak, ibu, dan adik perempuannya sama sekali tidak mengerti. Tidak jarang, Ardi melanjutkan aktivitas pada malam hari. Dua kegiatan yang selalu rajin ia lakukan, yaitu membaca dan menulis di buku catatan. Tak pernah sehari pun Ardi tinggalkan.
“Ardi, cobalah cari kerja! Mau sampai kapan jadi pengangguran terus? Ibu bosan lihat kamu di rumah aja begini.” Begitulah ucapan sang ibu seperti mengusir anaknya.
“Aku juga lagi kerja ini, Bu.” Ardi mencoba menjelaskan.
“Kerja apa? Siapa yang bayar? Gajinya mana? Ibu nggak paham.”
“Memang nggak bisa langsung ada hasilnya, Bu. Sabar, ya.”
“Memangnya, kamu di depan laptop seharian itu ngapain aja? Apa bener dapat penghasilan?” Sang bapak berusaha menengahi perseteruan ibu dan anak.
“Aku kerjanya nulis, Pak. Bikin novel dan mau kukirimkan ke penerbit. Bikin artikel buat website, ngirim cerpen, puisi, opini, dan esai ke surat kabar. Pokoknya nulis apa aja, sebanyak-banyaknya. Nanti dapat honor kalau dimuat. Dapat royati kalau lolos seleksi dan bukunya terbit.”
Bapak dan ibu Ardi memberi kesempatan sang anak untuk mengerjakan tulisan yang katanya bisa menghasilkan uang. Sejujurnya, mereka belum percaya. Meskipun Ardi mengaku sedang bekerja siang-malam, tetap saja di mata orang desa, pemuda itu seorang pengangguran. Setiap hari di rumah, mengenakan kaus oblong dan celana pendek.
Hanya sesekali pada akhir pekan, Ardi keluar rumah. Ia mengikuti komunitas menulis di kota. Sebagai anggota, ia tidak pernah ketinggalan menjadi bagian dalam kelas kepenulisan, bersilaturahmi dengan sesama penulis di daerahnya, bertukar pikiran dengan mereka, dan riset untuk bahan tulisan. Ardi terus belajar meningkatkan kemampuan menulisnya.
Menurut orang tuanya, Ardi hanya main-main saja. Tidak punya pekerjaan layak dan penghasilan tetap. Ardi benar-benar janggal, tidak seperti umumnya pemuda seusianya di desa itu. Satu tahun, bapak dan ibu Ardi masih bersabar. Setelah dua tahun, Ardi masih lontang-lantung membuat sang ibu tidak tahan lagi.
“Ardi, kamu itu laki-laki. Kalau nggak kerja, gimana nanti jadi kepala keluarga? Ayo, cari kerja!” perintah ibunya.
“Atau, kamu ikut Bapak dagang buah aja?” Tawaran dari bapaknya diambil oleh Ardi. Itu pun hanya untuk menghentikan omelan ibunya.
Sekarang, pagi hingga sore hari Ardi berjualan buah di pasar kecamatan. Ini bukan cita-citanya. Ardi tampak lesu dan tidak bersemangat. Tiga bulan berjualan, Ardi sakit demam. Ia istirahat di rumah dan kembali melanjutkan tulisan-tulisan yang belum selesai.
“Pak, Ardi nggak ikut dagang lagi.” Begitulah Ardi berhenti menjadi pedagang. Ia kembali menulis dan menghasilkan cerita-cerita baru di platform online.
Cukup banyak yang menggemari karya Ardi. Melalui media sosial, pemuda itu mengenal seseorang yang selalu hadir berkomentar di karya-karyanya. Seorang gadis bernama Niar. Obrolan mereka terjalin akrab di dunia maya. Ardi senang bisa memiliki teman baru dari kegiatan menulis. Ia merasa diterima dan dihargai. Tidak seperti di dunia nyata, ia dikucilkan dan dipandang sebelah mata.
Orang-orang di lingkungan sekitarnya tidak peduli dengan karya Ardi. Jangankan membaca tulisan-tulisannya, bahkan meremehkan pekerjaan yang ia lakukan. Tidak terkecuali bapak dan ibunya sendiri. Mereka masih dipengaruhi pola pikir masyarakat desanya yang mengakui seseorang bekerja bila ia berangkat pagi-pagi dan pulang malam hari.
Para pemuda-pemudi desa pun tidak ada yang hobi membaca, apalagi menulis. Mereka lebih suka mengobrol, menggosip, dan berpacaran seperti sinetron di televisi. Ardi tidak dekat dengan pemuda desa. Justru ia lebih nyaman berinteraksi dengan teman-teman komunitas menulis di kota, maupun grup-grup literasi secara online.
“Niar, gimana ya caranya meningkatkan minat baca di desaku?” Ardi curhat melalui chatting.
“Coba kamu buka taman baca di rumah. Biar anak-anak yang datang les juga bisa baca buku.”
Tanpa menunggu lama, Ardi melaksanakan ide cemerlang dari Niar. Sayangnya, koleksi buku Ardi belum terlalu banyak, terutama buku bacaan anak-anak. Ardi belanja beberapa buku ke toko buku besar di kota. Sering pula membeli buku-buku secara online. Namun, sang ibu tidak menyetujui kegiatan mulia yang baru dimulai Ardi.
“Habis berapa tuh beli buku-bukunya? Mahal! Apalagi dipinjamkan gratis. Disewakan aja,” usul ibunya.
“Jangan, Bu. Kasihan anak-anak kalau disuruh bayar. Nggak apa-apa gratis, asalkan mereka dapat ilmu.”
Ibunda Ardi cemberut. “Nggak dapat duit, malah habisin duit.”
“Bu, ini kegiatan sosial untuk membantu anak-anak di desa kita. Biar mereka makin cerdas dan maju.”
“Membantu orang juga butuh modal. Kerja dulu! Kalau punya uang, baru bisa nyumbang. Ardi, berapa kali Ibu harus bicara? Sarjana sepertimu harusnya kerja kantoran jadi pegawai dan membanggakan orang tua. Bukan seperti ini!”
Ardi memikirkan kata-kata ibunya. Betul juga. Sudah tiga tahun sejak lulus kuliah, Ardi menulis segala macam karya, tetapi belum membuahkan hasil. Naskah novelnya berkali-kali ditolak oleh penerbit dan belum lolos seleksi untuk diterbitkan menjadi buku. Cerpen dan artikelnya belum berhasil dimuat oleh media massa. Jangankan royalti melimpah, honor serupiah pun belum didapatkannya.
“Apa yang harus aku lakukan, Niar? Apakah aku nggak bisa sukses jadi penulis? Betapa sulitnya mewujudkan impian ketika orang-orang terdekat nggak mendukungku.” Sekali lagi, Ardi mencurahkan hati pada pembacanya yang sudah menjelma sahabat.
“Tetap semangat, Ardi! Jangan putus asa! Sebentar lagi, kesuksesan akan kamu raih. Tapi, bolehkah aku ngasih saran?”
“Boleh banget, Niar. Selama ini, kamu yang paling banyak ngasih saran dan kritik yang membangun untuk karyaku.”
“Ardi, memang profesi penulis belum mendapat tempat di negeri ini. Banyak yang masih ragu untuk menggantungkan hidup dan mencari rezeki dari kegiatan menulis. Kita perlu waktu buat mengubah mindset dan kondisi di masyarakat. Sekarang, kita coba dulu mengikuti arus sambil terus berkarya pelan-pelan. Kamu bisa bekerja sambil tetap menulis, kan?”
“Kalau aku sibuk kerja, pasti tulisanku terbengkalai. Aku nggak bisa nulis setengah-setengah saat ada waktu luang aja. Kerja penuh dan paruh waktu juga beda kan hasilnya? Aku maunya fokus nulis, full time. Aku pengen buktikan bahwa penulis juga sebuah profesi yang setara dengan pekerjaan lain.”
“Tapi, banyak juga kok penulis terkenal yang punya profesi lain. Mereka tetap bisa produktif menghasilkan karya. Kamu harus bisa memanajemen waktu dengan baik.”
“Mereka kan sehat. Stamina bagus. Sedangkan aku, pasti udah kelelahan kalau kerja sambil nulis juga,” gumam Ardi lirih. Ia tidak mengetiknya di aplikasi chatting. Lelaki itu tidak ingin Niar tahu tentang penyakitnya. Bahkan, orang tua Ardi pun belum mengetahuinya hingga detik ini.
“Oke. Aku akan mencoba. Ibu selalu nyuruh aku cari kerja. Tapi, aku belum menuruti kemauannya.”
“Ardi, cobalah mematuhi ibumu. Pasti orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Ibu nyuruh kamu kerja demi kebaikanmu juga. Aku yakin, kamu tetap bisa menulis meskipun udah kerja. Berjuanglah!”
“Semoga saja. Terima kasih, Niar.”
“Suatu saat kalau kamu udah sukses jadi penulis dan bukumu terbit, aku mau ketemu sama kamu, Ardi.”
“Doakan saja, ya.”
Ardi merenungkan chatting-nya dengan Niar. Beberapa hari, ia menyiapkan berkas-berkas dan membuat surat lamaran kerja. Setelah siap, ia memutuskan esok paginya berangkat mencari pekerjaan. Kali ini, ia bersedia memenuhi keinginan orang tua.
“Syukurlah. Akhirnya, anakku mau cari kerja.” Ibunda Ardi tersenyum bahagia menatap putra sulungnya berpakaian kemeja dan celana panjang rapi.
“Aku berangkat, Bu.” Ardi mengendarai motor sambil membonceng adik satu-satunya yang masih berseragam SMA.
“Tumben, Mas Ardi mau ke mana? Biasanya kan cuma di rumah,” celetuk sang adik.
“Mau cari kerja. Biar bisa bantu biayain kamu kuliah nanti,” jawab Ardi.
Beberapa hari kemudian, lamaran Ardi diterima. Ia memperoleh pekerjaan di sebuah bank. Sejak bekerja di lembaga keuangan, kesibukannya makin bertambah. Kegiatan menulis sudah menurun drastis. Ardi tinggal mengirimkan karya-karyanya yang sudah selesai ke berbagai media dan penerbit. Sambil bekerja, ia menunggu kabar tulisannya. Lelaki itu tak henti berdoa agar karyanya berhasil.
Semakin hari, Ardi merasa passion-nya di dunia tulis-menulis semakin lenyap. Fokusnya terbelah. Ia kesulitan membagi waktu antara bekerja dan menulis. Seharian berada di kantor membuatnya tidur lebih awal pada malam hari. Itu pun kalau tidak ada tugas tambahan yang harus dikerjakan di rumah. Ditambah lagi, kondisi tubuhnya yang tidak fit sangat mudah lelah. Namun, ia tidak mau membuat keluarganya cemas. Ia menyembunyikan rasa sakit sampai menggerogoti tubuh ringkihnya.
Setelah enam bulan bekerja, Ardi memetik hasil usahanya selama tiga tahun. Naskah novelnya lolos seleksi, bukunya terbit, dan karya-karyanya termuat di media massa. Namun, keluarga dan warga desanya tetap saja tidak mengapresiasi. Ardi sudah dikenal sebagai pegawai bank, bukan penulis.
“Ibu, Bapak, syukurlah novelku terbit. Artikelku tayang di website. Cerpen dan puisiku dimuat surat kabar,” ucap Ardi bahagia sambil menunjukkan bukti-buktinya.
“Oh, masih mau jadi penulis? Kamu kan udah jadi pegawai bank. Jangan sampai nulis terus, sampai lupa pekerjaan utama!” tegas sang bapak.
“Iya. Jadi pegawai aja deh. Ibu bangga lihat kamu pakai seragam gitu,” pinta sang ibu.
Ardi membisu. Perjuangannya selama ini tidak bisa membuat orang tuanya bangga dan bahagia. Seburuk itukah seorang penulis? Atau, warga desa dan negara ini memang sulit menghargai sebuah karya?
Semalam, Ardi menulis sepucuk surat dengan tangan gemetar. Ia selipkan surat itu dalam buku tabungan yang sudah terisi honor dan royalti karyanya. Hasil kerjanya sebagai penulis melebihi gaji dari bank. Bahkan, akan terus mengalir selama karya itu cetak ulang dan masih diminati oleh pasar. Ardi sangat bersyukur.
Namun, esok paginya terjadi musibah dalam perjalanan Ardi berangkat ke tempat kerja. Ia mengalami kecelakaan sepeda motor. Menurut dokter, pemuda itu sedang sakit dan memaksakan diri untuk berkendara. Tubuh yang lemah dan kehilangan konsentrasi membuat Ardi celaka. Nyawanya tidak tertolong.
Kini tinggal keluarga Ardi—ibu, bapak, dan adik—sedang membaca surat wasiat di kamarnya. Itulah satu-satunya tulisan Ardi yang pernah mereka baca. Warisan harta dari honor dan royalti tidak sempat ia nikmati. Tetapi, ia sudah berniat menulis untuk memberikan manfaat dan mengabadikan nama pemberian orang tua. Ardi menjadi abadi. Mungkin, ia sudah beristirahat dengan tenang karena tugasnya telah tuntas di dunia ini.
Mojokerto, Agustus 2019
(Cerpen ini ditulis untuk syarat pendaftaran anggota baru FLP Cabang Mojokerto tahun 2019 silam.)
*) Riski Diannita, merupakan seorang ibu rumah tangga, pengajar les, penulis, dan editor lepas. Ia memperoleh amanah sebagai Koordinator Divisi Karya di FLP Cabang Mojokerto periode 2023–2025. Tulisannya telah dimuat di berbagai media, buku antologi, dan buku solo. Nita, panggilannya, dapat disapa melalui media sosial Instagram @riskidiannita dan Facebook: Diannita Riski. Ia bisa dihubungi melalui nomor HP/WhatsApp: 085730360947 dan email: riskidiannita@gmail.com.

0 Komentar